Benih menjadi pintu gerbang (entry point) utama suatu kehidupan, termasuk bagi kehidupan tanaman. Perannya menjadi lebih strategis bagi tanaman perkebunan yang berumur panjang dan sifat usahanya tahunan. Kesalahan penanaman akibat penggunaan benih yang tidak unggul, akibatnya akan dirasakan selama puluhan tahun. Produktivitas tanaman rendah, masa pengembalian investasi sangat lambat, dan tingkat keuntungan usaha menjadi lebih rendah. Padahal tiga kriteria tersebut menjadi pertimbangan utama bagi usaha di bidang perkebunan, selain aspek sosial dan lingkungan.
Dengan komposisi luasan pertanaman kopi seperti itu, produk kopi Indonesia terkendala dalam persaingan di pasar internasional, mengingat fenomena 70% konsumsi kopi dunia dikuasai kopi jenis arabika, adapun sisanya 30% merupakan konsumsi kopi jenis robusta. Disamping itu kopi arabika mempunyai harga jual yang lebih tinggi daripada kopi robusta, maka untuk meningkatkan nilai pendapatan devisa maupun meningkatkan daya saing kopi Indonesia di pasar internasional adalah dengan jalan meningkatkan proporsi produksi kopi arabika.
Salah satu alternatif untuk meningkatkan produksi kopi arabika adalah dengan cara ektensifikasi. Tetapi dikarenakan cara ekstensifikasi pada lahan-lahan baru sulit dilakukan, mengingat kopi jenis ini hanya dapat tumbuh dan berproduksi optimal di dataran tinggi dengan kisaran 1.000 meter dari permukaan laut, sedangkan lahan seperti itu di Indonesia umumnya merupakan lahan kehutanan yang tidak bisa dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan, maka cara ekstensifikasi yang paling memungkinkan untuk dilakukan adalah dengan melakukan konversi kopi robusta ke arabika pada lahan-lahan yang sesuai.
Data yang dirilis Ditjenbun (2012) menunjukkan bahwa sebanyak ± 60% dari luasan perkebunan kopi di Indonesia saat ini telah berumur diatas 25 tahun yang sudah kurang produktif, sehingga sudah saatnya dilakukan rehabilitasi peremajaan. Dimana pada pertanaman kopi yang perlu direhabilitasi tersebut didominasi oleh pertanaman kopi robusta, maka rehabilitasi pada lahan-lahan yang sesuai untuk budidaya kopi arabika dapat dilakukan dengan cara konversi kopi robusta menjadi kopi arabika, dikarenakan banyak petani pada umumnya masih mengusahakan tanaman kopi secara bercampur antara kopi arabika dan robusta pada lahan-lahan yang sesuai untuk budidaya kopi arabika. Seperti halnya yang terjadi di pertanaman kopi rakyat di Kabupaten Bangli, Propinsi Bali, dimana sekitar 40% tanaman kopi robusta ditanam pada lahan-lahan yang sesuai untuk budidaya kopi arabika.
Kasus penanaman kopi robusta yang dilakukan pada lahan-lahan yang sesuai untuk kopi arabika pada pertanaman kopi rakyat di Kabupaten Bangli, tentu juga terjadi pada pertanaman kopi rakyat di daerah lainnya di Indonesia, mengingat bahwa sekitar 96% perkebunan kopi di Indonesia merupakan perkebunan rakyat yang umumnya belum menerapkan teknik budidaya yang benar. Oleh karena itu, rehabilitasi pada pertanaman kopi dengan kondisi demikian lebih tepat dilakukan dengan cara konversi tanaman kopi robusta menjadi kopi arabika, mengingat kondisi agroekologinya yang sesuai untuk pertumbuhan kopi arabika.
Dalam konversi tanaman kopi robusta menjadi kopi arabika dilakukan dengan teknik sambung, dimana tanaman kopi robusta berlaku sebagai batang bawah, adapun batang atas adalah kopi arabika varietas unggul. Pelaksanaan teknik sambungan di lapangan dilakukan dengan menggunakan metode siwingan, yaitu dengan memangkas separuh bagian tajuk kopi robusta diatas sambungan. Metode ini selain dapat mendorong pertumbuhan sambungan lebih sehat, juga masih dapat diperoleh hasil panen dari kopi robusta hingga 55%. Dengan metode konversi ini juga mudah dilakukan penggantian jenis klon batang atas bila didapatkan klon-klon baru yang lebih unggul pada masa yang akan datang.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Rubiyo dan Suharyanto (2007) mengenai konversi kopi robusta menjadi kopi arabika pada perkebunan kopi rakyat di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Propinsi Bali, mendapatkan bahwa:
Penerapan teknologi rehabilitasi konversi kopi robusta menjadi kopi arabika dengan teknik sambung memberikan dampak perubahan tidak saja pada aspek produksi dan pendapatan petani, tetapi juga memberikan dampak pada struktur biaya usahatani termasuk struktur tenaga kerja.
Penerapan teknologi telah meningkatkan biaya input usahatani hingga 69,93%, adapun terhadap produktivitas usahatani peningkatannya
lebih rendah yaitu 59,17%. Walaupun demikian pendapatan usahatani meningkat sekitar 142,54% dikarenakan faktor harga output yang kondusif, dimana harga kopi arabika jauh lebih mahal dibandingkan kopi robusta.
Selain di Propinsi Bali, teknik rehabilitasi konversi ini telah diterapkan pada perkebunan kopi rakyat di Propinsi Aceh, Lampung dan Nusa Tenggara Timur, diharapkan kedepan penerapan teknik ini dapat juga menjangkau perkebunan-perkebunan kopi rakyat di propinsi lain, sehingga lambat laun dapat meningkatkan proporsi luasan maupun produksi kopi arabika di Indonesia. Seperti diketahui dari empat negara produsen utama kopi dunia, dimana Indonesia berada di urutan keempat produsen terbesar setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia, selama ini hanya Indonesia dan Vietnam yang dominan menghasilkan kopi robusta, adapun produksi kopi Brazil didominasi oleh kopi arabika yang mencapai 76%, bahkan produksi kopi arabika Kolumbia mencapai 98%, bandingkan dengan Indonesia yang pada tahun 2011 hanya memproduksi kopi arabika sebanyak 22%.
Walaupun produksi kopi arabika Vietnam pada tahun 2011 masih sekitar 5%, tetapi saat ini Vietnam telah melakukan program yang agresif dan terarah dalam konversi tanaman kopi robusta ke kopi arabika, sehingga sebagai pesaing Indonesia jangan terlena dan harus mencermati langkah Vietnam tersebut. Dukungan pemerintah Vietnam sangat nyata bagi peningkatan areal dan produktivitas kopi arabika, dimana selama ini keberhasilan Vietnam dalam pengembangan kopi mendapat dukungan penuh pemerintah seperti membangun jalan-jalan di sentra produksi kopi untuk memperlancar transfortasi hasil panen serta pembangunan fasilitas prasarana dan sarana lainnya, yang menunjang pengembangan kopi, begitupun peningkatan dana penelitian, penyuluhan maupun bantuan kredit bagi petani, sehingga Vietnam yang beberapa tahun lalu sama sekali tidak terdengar soal kopinya namun berkat dukungan pemerintahnya dengan demikian gencar menjadikan produksi kopi Vietnam menjadi hebat, nampaknya dalam hal ini Indonesia perlu belajar dari Negara Vietnam.
Diharapkan keberhasilan teknologi rehabilitasi konversi kopi robusta menjadi kopi arabika dengan tanpa harus membongkar tanaman kopi robusta yang sudah tua, dapat juga berhasil meningkatkan daya saing kopi Indonesia terutama kopi arabika di pasar internasional, mengingat kopi arabika asal Indonesia sudah memiliki reputasi baik di pasar internasional sebagai kopi spesialti yang bercitarasa tinggi, yang akan berdampak positif pada peningkatan pendapatan petani, peningkatan nilai devisa serta peningkatan perekonomian Indonesia (Rubiyo, Bambang E.T. dan Juniaty Towaha/BALITTRI)..
Produksi kopi Indonesia pada 2011 mencapai 709.000 ton dari areal seluas 1,3 juta hektar, dimana sebanyak 68% dari total produksi tersebut diekspor keluar negeri, sehingga kopi merupakan salah satu komoditi andalan perkebunan yang mempunyai peran sebagai penghasil devisa negara. Dari luasan 1,3 juta hektar tersebut, seluas 1,01 juta hektar (77,69%) merupakan pertanaman kopi robusta, sedangkan seluas 290.000 hektar (22,31%) merupakan pertanaman kopi arabika.
Dengan komposisi luasan pertanaman kopi seperti itu, produk kopi Indonesia terkendala dalam persaingan di pasar internasional, mengingat fenomena 70% konsumsi kopi dunia dikuasai kopi jenis arabika, adapun sisanya 30% merupakan konsumsi kopi jenis robusta. Disamping itu kopi arabika mempunyai harga jual yang lebih tinggi daripada kopi robusta, maka untuk meningkatkan nilai pendapatan devisa maupun meningkatkan daya saing kopi Indonesia di pasar internasional adalah dengan jalan meningkatkan proporsi produksi kopi arabika.
Salah satu alternatif untuk meningkatkan produksi kopi arabika adalah dengan cara ektensifikasi. Tetapi dikarenakan cara ekstensifikasi pada lahan-lahan baru sulit dilakukan, mengingat kopi jenis ini hanya dapat tumbuh dan berproduksi optimal di dataran tinggi dengan kisaran 1.000 meter dari permukaan laut, sedangkan lahan seperti itu di Indonesia umumnya merupakan lahan kehutanan yang tidak bisa dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan, maka cara ekstensifikasi yang paling memungkinkan untuk dilakukan adalah dengan melakukan konversi kopi robusta ke arabika pada lahan-lahan yang sesuai.
Data yang dirilis Ditjenbun (2012) menunjukkan bahwa sebanyak ± 60% dari luasan perkebunan kopi di Indonesia saat ini telah berumur diatas 25 tahun yang sudah kurang produktif, sehingga sudah saatnya dilakukan rehabilitasi peremajaan. Dimana pada pertanaman kopi yang perlu direhabilitasi tersebut didominasi oleh pertanaman kopi robusta, maka rehabilitasi pada lahan-lahan yang sesuai untuk budidaya kopi arabika dapat dilakukan dengan cara konversi kopi robusta menjadi kopi arabika, dikarenakan banyak petani pada umumnya masih mengusahakan tanaman kopi secara bercampur antara kopi arabika dan robusta pada lahan-lahan yang sesuai untuk budidaya kopi arabika. Seperti halnya yang terjadi di pertanaman kopi rakyat di Kabupaten Bangli, Propinsi Bali, dimana sekitar 40% tanaman kopi robusta ditanam pada lahan-lahan yang sesuai untuk budidaya kopi arabika.
Kasus penanaman kopi robusta yang dilakukan pada lahan-lahan yang sesuai untuk kopi arabika pada pertanaman kopi rakyat di Kabupaten Bangli, tentu juga terjadi pada pertanaman kopi rakyat di daerah lainnya di Indonesia, mengingat bahwa sekitar 96% perkebunan kopi di Indonesia merupakan perkebunan rakyat yang umumnya belum menerapkan teknik budidaya yang benar. Oleh karena itu, rehabilitasi pada pertanaman kopi dengan kondisi demikian lebih tepat dilakukan dengan cara konversi tanaman kopi robusta menjadi kopi arabika, mengingat kondisi agroekologinya yang sesuai untuk pertumbuhan kopi arabika.
Dalam konversi tanaman kopi robusta menjadi kopi arabika dilakukan dengan teknik sambung, dimana tanaman kopi robusta berlaku sebagai batang bawah, adapun batang atas adalah kopi arabika varietas unggul. Pelaksanaan teknik sambungan di lapangan dilakukan dengan menggunakan metode siwingan, yaitu dengan memangkas separuh bagian tajuk kopi robusta diatas sambungan. Metode ini selain dapat mendorong pertumbuhan sambungan lebih sehat, juga masih dapat diperoleh hasil panen dari kopi robusta hingga 55%. Dengan metode konversi ini juga mudah dilakukan penggantian jenis klon batang atas bila didapatkan klon-klon baru yang lebih unggul pada masa yang akan datang.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Rubiyo dan Suharyanto (2007) mengenai konversi kopi robusta menjadi kopi arabika pada perkebunan kopi rakyat di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Propinsi Bali, mendapatkan bahwa:
Penerapan teknologi rehabilitasi konversi kopi robusta menjadi kopi arabika dengan teknik sambung memberikan dampak perubahan tidak saja pada aspek produksi dan pendapatan petani, tetapi juga memberikan dampak pada struktur biaya usahatani termasuk struktur tenaga kerja.
Penerapan teknologi telah meningkatkan biaya input usahatani hingga 69,93%, adapun terhadap produktivitas usahatani peningkatannya
lebih rendah yaitu 59,17%. Walaupun demikian pendapatan usahatani meningkat sekitar 142,54% dikarenakan faktor harga output yang kondusif, dimana harga kopi arabika jauh lebih mahal dibandingkan kopi robusta.
Selain di Propinsi Bali, teknik rehabilitasi konversi ini telah diterapkan pada perkebunan kopi rakyat di Propinsi Aceh, Lampung dan Nusa Tenggara Timur, diharapkan kedepan penerapan teknik ini dapat juga menjangkau perkebunan-perkebunan kopi rakyat di propinsi lain, sehingga lambat laun dapat meningkatkan proporsi luasan maupun produksi kopi arabika di Indonesia. Seperti diketahui dari empat negara produsen utama kopi dunia, dimana Indonesia berada di urutan keempat produsen terbesar setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia, selama ini hanya Indonesia dan Vietnam yang dominan menghasilkan kopi robusta, adapun produksi kopi Brazil didominasi oleh kopi arabika yang mencapai 76%, bahkan produksi kopi arabika Kolumbia mencapai 98%, bandingkan dengan Indonesia yang pada tahun 2011 hanya memproduksi kopi arabika sebanyak 22%.
Walaupun produksi kopi arabika Vietnam pada tahun 2011 masih sekitar 5%, tetapi saat ini Vietnam telah melakukan program yang agresif dan terarah dalam konversi tanaman kopi robusta ke kopi arabika, sehingga sebagai pesaing Indonesia jangan terlena dan harus mencermati langkah Vietnam tersebut. Dukungan pemerintah Vietnam sangat nyata bagi peningkatan areal dan produktivitas kopi arabika, dimana selama ini keberhasilan Vietnam dalam pengembangan kopi mendapat dukungan penuh pemerintah seperti membangun jalan-jalan di sentra produksi kopi untuk memperlancar transfortasi hasil panen serta pembangunan fasilitas prasarana dan sarana lainnya, yang menunjang pengembangan kopi, begitupun peningkatan dana penelitian, penyuluhan maupun bantuan kredit bagi petani, sehingga Vietnam yang beberapa tahun lalu sama sekali tidak terdengar soal kopinya namun berkat dukungan pemerintahnya dengan demikian gencar menjadikan produksi kopi Vietnam menjadi hebat, nampaknya dalam hal ini Indonesia perlu belajar dari Negara Vietnam.
Diharapkan keberhasilan teknologi rehabilitasi konversi kopi robusta menjadi kopi arabika dengan tanpa harus membongkar tanaman kopi robusta yang sudah tua, dapat juga berhasil meningkatkan daya saing kopi Indonesia terutama kopi arabika di pasar internasional, mengingat kopi arabika asal Indonesia sudah memiliki reputasi baik di pasar internasional sebagai kopi spesialti yang bercitarasa tinggi, yang akan berdampak positif pada peningkatan pendapatan petani, peningkatan nilai devisa serta peningkatan perekonomian Indonesia (Rubiyo, Bambang E.T. dan Juniaty Towaha/BALITTRI)..
EmoticonEmoticon